Welcome to my POV

Stultus

amor fati.

 Membaca ulang tulisan terakhir di blog ini mengingatkanku betapa putus asanya diriku saat itu. 

Rupanya, pertanyaan itu didengar dan dijawab pada waktu yang seharusnya. 

Berapa hal yang terjadi belakangan ini rupanya jawaban dari pertanyaan yang ada tanpa disadari dan dicari. Aku memang meninggalkan jejak di sana sini, remahan roti ketidakyakinan yang minta ditelusuri agar tidak tersesat. 

Keyakinan.

Sesuatu yang dalam hampir 8 tahun terakhir aku abaikan. Aku telah membalikan badan cukup dalam dan berlari. Pelarian yang cukup lama namun ternyata harus disudahi (?)
Namun kiranya ada yang bertanya kenapa, mungkin aku belum bisa memberi jawaban. Mungkin ternyata keputusanku 8 tahun lalu adalah kesalahan? Atau aku memang terlalu lemah saja? 
Tidak apa. Aku hanya ingin membuka diri atas kemungkinan-kemungkinan lain. Seperti anak burung yang percaya induknya akan kembali dengan makanan, mungkin aku hanya ingin menunggu dan percaya. 

Tidak ada pengharapan di sini, apalagi ekspetasi. Karena aku sudah mengerti, sekecil apapun harapan, itu akan merusak hasil. Aku hanya harus membuka dan menerima. Apapun hasilnya. Tidak ada bayang-bayang yang mengikuti dan membebani. 

Seperti kertas putih yang siap menerima tulisan, entah itu adalah puisi yang indah atau keluh kesah yang menyedihkan, biarlah hal itu membentukku. 

Mungkin jika ditanya kenapa sekarang, jawabanya cukup mudah: inilah saatnya. Walaupun itu bukan keyakinan, aku hanya tau. Jawaban itu hanya datang seperti udara malam yang perlahan menggantikan senja. Kau hanya menerima. 

Jadi, akan kubiarkan semesta bekerja.

Sepertinya dua tahun terakhir adalah karma yang aku bayar karena terlalu bahagia dalam tiga tahun sebelumnya. Ya, mungkin aku salah satu orang yang percaya bahwa tidak ada kebahagiaan yang bertahan lama. Selalu ada harga yang harus dibayar. 

Mungkin sebenarnya ini cuma alasan yang kubuat-buat sendiri agar terbebas dari penyesalan dan kesendirian yang terus menerus kurasakan dalam dua tahun terakhir. Tidak perduli sebanyak apapun barang baru yang bisa kubeli, uang yang kuhabiskan, dan alkohol untuk membasuh luka itu, nampaknya bagian kosong itu tak kunjung hilang. 

Dua tahun terakhir adalah waktu paling aneh dengan pengalaman yang di luar kepala. Kesalahan demi kesalahan aku lakukan. Pilihan yang paling tidak masuk akal, sekaligus tidak punya hati. Itukah diriku sekarang? Seseorang yang tidak hanya cara berpikirnya patut dipertanyakan, namun nuraninya juga rusak? Alangkah menyedihkan. 

Perasaan bersalah, kesepian, dan penyesalan terus menghantui. Malam-malam penuh kesendirian dan kebencian pada diri sendiri tak kunjung usai. Mungkin memang saatnya menyingkirkan egoisme dan kebohongan itu. Sebelum persimpangan itu terlewat dan aku belok ke arah yang salah. 

Pertanyaannya, akankah aku sanggup menghadapi konsekuensinya? Dua tahun terakhir, aku terlampu nyaman hidup dalam kebohongan dan penderitaan orang lain. Mengutamakan diri sendiri dengan alasan self love, padahal nyatanya aku sadar bahwa dirikulah yang toxic.

Sungguh munafik. Memanglingkan muka pada orang yang ternyata kutiru perbuatannya. Mungkin ikatan itu lebih kuat dari yang kubayangkan, ataukah memang warisan? Ah, lebih baik menjadi realistis dan berhenti mencari kambing hitam. Toh aku tau hatikulah yang hitam bak jelaga. 

\

Wahai semesta, berilah aku kekuatan untuk menyelesaikan semua kebohongan dan kebodohan ini. Sudi kiranya kau tunjukkan padaku jalan yang baik?

Recently, as I turned older, I tend to forget about small things that made me easily happy before. 
Meticulous things like a blue sky, a huge tree that gives me shadow on a very hot day, the smile of people I love, and amazing me-time. 
I tend to see the negative side more as I analyze everything or just simply pass it through without any consideration. More likely the second one. But in several cases, I eager to do self critics about everything I have done or have not done. Like the t-shirt I wore yesterday, or the makeup choose to wear today. Or the love I chose four years ago. Regrets, they are coming over more often now. 
Is it the part of growing up? Such as anxiety and insecurity? 
Hard to believe I have come this far with all the stuff inside my head. 

The only hope and help I got were people around me and people I met. for a short time or longer one. They teach me, also inspire me. Even if you regret something, regret it because you did it. It will be so much better because you chose to do it, therefore you are really responsible for the result. Compared to whining over something you haven't do in the past, you will think about "what if" in eternity. Is it make sense for you? 
I am not sure, but it is kind of the mechanism I use to be okay with every mistake and flaw I made so far. All good and bad decision. I can't do anything about something that already happened, but I can definitely do something about how I feel about it. And that's all I need to care about. 


I wish anyone who reads
this have a great day.

Ciao. 

Sunset... Pensacola Beach...:


Entah ini senja keberapa yang aku habiskan di pantai ini. Menunggu datangnya semburat merah di kaki langit, mengantarkan sang mentari ke peraduannya.
Mungkin orang-orang sekitar sini sudah hapal denganku. Setiap sore, tepat pukul 5, aku sudah ada di sini. Takutnya, terlambat sedikit saja senjaku akan terlewat. Manisnya rona senja dan hamparan membiru yang bagai tanpa ujung.. Ya, aku telah terpikat olehnya..
Aku selalu duduk dengan setia di atas pasir, tanpa alas apapun. Aku memang tidak butuh.  Lembut pasir pantai di kala sore selalu bisa membuatku lebih tenang. Hari ini pun. Tenang rasanya kembali ke sini. Pasir yang hangat, bau khas laut, dan warna senja.
Dulu orang-orang di sekitar pantai sering menanyaiku. Mengapa aku selalu menunggui senja di pantai ini tiap sorenya, dimana aku tinggal, siapa namaku, dan banyak lagi. “Saya cuma senang melihat senja di pantai.” Selalu begitu aku menjawab, enggan menungkap terlalu jauh. Sedikitpun aku tidak berbohong. Aku memang senang pada senja. Juga pantai. Keduanya pasangan sejati.
Ibuku yang mengenalkanku pada senja. Seminggu sebelum beliau berpulang. Tidak ada penyakit khusus. Waktu beliau memang sudah habis.
Ah, Aku masih ingat sekali. Di pantai --bukan pantai yang ini-- dalam senja beliau beristirahat. Tapi, bukan karena beliau aku suka pada senja. Beliau hanya mengenalkanku pada senja. Aku jatuh cinta pada senja, itu cerita lain. Dan tentang si Pantai, itu sungguh berbeda. Mungkin nanti akan aku ceritakan. Kalau aku berkenan. Sekarang  sudah cukup. Aku lebih senang menikmati senja dalam diam. Lalu mengulum senyumku dalam-dalam.
Aku selalu menyimpan sepotong senja dalam lembar-lembar fotoku. Kiranya nanti cuaca menghalangi, potongan itulah yang menggantinya sementara.Setiap senja berbeda. Kemarin lusa lebih merah dari kemarin. Hari ini ada campuran biru di antara rona merahnya. Cantik sekali.
Sedikit-demi sedikit aku menyesap senjaku. Desir demi desir angin, semburat demi semburat. Begitu berharga. Setelah senjaku pergi, kadang aku berbaring sejenak di atas putihnya pasir pantai. Lega. Bersyukur, satu lagi senja yang berhasil aku nikmati. Lalu aku mulai menggambar dalam khayal, meresapi senjaku tadi. Warnaya, kilauannya di atas air laut. Aromanya. Kadang aku iri pada senja. Bisa merona dengan begitu gagah, tanpa malu.
Senja itu selalu bermakna. Ia menghubungkan siang dan malam. Matahari dan bulan.
Senja itu.. “Kak, kak! Ini, ada titipan!” ah, seorang anak kecil membuyarkan lamunanku. Anak laki-laki ini, tubuhnya kecil, kulitnya gosong, rambutnya pendek acak-acakan. Mungkin usianya 12 tahun atau lebih.
Setelah menjatuhkan sebuah bungkusan ke pangkuanku, dia lari terbirit-birit. Langsung hilang. Aku bahkan belum sempat membuka mulut, terlalu terkejut. Bungkusan itu berbentuk segi empat dengan kertas pembungkus merah tua. Talinya biru. Cantik juga. Dari bentuk luarnya dan kerasnya.. Ini kanvas? Secepatnya aku menyobek bungkusannya. Hati-hati. Ternyata  memang lukisan.
Siluet seorang gadis dengan rambut hitam panjang terurai, topi jerami lebar, gaun santai, duduk di atas pasir. Latar belakangnya tentu saja, pantai dan senja. Lukisan ini seolah memotretku dari belakang. Dan, ada suratnya!

Hai, gadis senja.
Akhirnya aku berani menyapamu
Setelah sekian lama menunggu.
Lukisan ini hadiah untukmu.
Hari ke-99 kau setia pada senjamu di pantai ini.
Dan sebagai tanda perkenalan kita.
Salam kenal gadis senja.

                                     Dsri pengagum kesetiaanmu.

Ah, ternyata aku sudah melihat 99 senja di pantai ini. Dan ternyata, aku punya pengagum rahasia. Tunggu, bukan rahasia lagi. Dia kan sudah bilang. Kira-kira siapa? Aku penasaran. Kuedarkan pandangan, pantai ini sudah sepi. Tidak ada pengunjung lain selain aku. Misterius sekali.

Ps: Penasaran padaku? Anggap ini satu teka-teki, untuk diungkap di senja ke seratus. Sabarlah gadis senja.


Lucu juga. Aku tertawa kemudian beranjak, kupeluk lukisan cantik itu.





note: Ini adalah sebuah cerpen lama yang entah kenapa terhapus dari blog ini. Padahal rasanya cerpen ini adalah post pertamaku. 
Blah, blah, blah:
For me, small talk not necessary that chit chat you do with strangers or someone you don't want to talk to but you have to. For me, small talk is a talk that don't have a meaning, have no substance, and when it ends, you got nothing but wasting your time. And for me, that including those texting shits you do with someone who approach you romantically. You spend all day and night talk about almost nothing but idle talk and stuffs you don't really care like:
"What are you up to?"
"Have you take a bath?"
"Yes, i know him! He is (insert gossips and your opinion about how bad someone is)"
"Are you busy?"
"What are you doing?"

and so on so on. I was facing this kinda thing for song long i can't even handle it anymore. That boys that ever try to hook up on me make me really sick. It's not i'm saying that they are so bad or ugly or stupid (umm... maybe they are stupid), but the thing is, i don't like small talk like that and you can never ever win me through that. No. I need something 'deeper'. 
I may responding on you like a few weeks, a few dates, but then i'll disappear. Mostly, because i don't waste my time for shallow relationship for fun. I have many other things that can make me happy and small talk not included.
Those cases happened like all the time for these past 2 years and that is actually the main reason why i stayed single. I found some interesting guy, we got close, but then the relationship become too shallow for me, i got nausea, and i'm stop. I don't want to waste either my time or his. This may sound cruel for you, but i'm trying to be realistic here. At least i don't give them false hope and waste their time. 
But hey, what i want to say here is not (only) about my dating style but more about expressing my opinion why small talk don't work for a good relationship. Relationship here not necessarily a romantic one, it also applied to friends and family, but i would like to point that people tends to do it mostly to their crush (at least people around me). 
For me, the main reason is: small talk don't bring you anywhere. Yes maybe you got fun and laugh for several times, but then what? The relationship will get boring really fast because what you mostly talked about is gossiping about others or sharing a same event or experience repeatedly. You know nothing about me and i don't know really know anything about you.
when i say anything i mean: what is your favorite song, your biggest dream, your darkest nightmare, your insecurity, things you love, your ideology, and another thing determine your personality. Wouldn't it be nice if you can share that kind of personal thing with someone you consider as significant? Or how you can even sure about staying with this person if you don't even know them? 
And don't you think it would be nice to be with someone who really care about you? I would be very happy if someone i like ask me why do i like a song or book instead of repeatedly ask about my dinner. i hate small talk:

Another reason, why would you stay awake, like on 2am and talking nonsense about just everything but your deeper though? Such a waste for me. A deep midnight talk would mean different for a relationship, specially if you want to got a serious one. You can share a lil secret or a life-changing-experience for example. Seriously, they are many other interesting and meaningful topics, dude.

So, what do you think? 
Maybe you can start to asking yourself, were all those talks you spend important and meaningful? or they were nothing but words on the air?
But, just take this as my opinion to share, not a precise reference tho. It is fine if you really enjoy small talk. I won't judge. Everyone have their own cup of tea, right? 


xx,
Sha.



Fotograaf:Yuge, Tumblr Titel: Hollow Jaartal: 19 jan, 2013 photographers on tumblr Jan 19th. Dit bord inspireert mij door door de roodkleurige/blauwe vloed. Het is niet dat ik het wil gebruiken in mijn filmpje, maar het brengt mij op ideeen over kleuegebruik.:

it has been a while since i got some kind of imsonia: no sleep before midnight. i just can't close my eyes before 12 am. even when i'm extremely tired or sad or depressed (it even get worse).
and by the time i can't sleep, i spent them on stupid thoughs.
like, why did this world appear, suddenly from nowhere we don't know?
why there is too much pain?
why can't all of us being happy?
why is everything  not fair?
why do i always feel lonely?

and when i fall asleep, most of dreams i can remember, are about my longingness of someone.
someone i don't know.
someone i don't have.

all of my life, as far i can remember, it were a blury memory, i loved a very few people. my family, and him. and money.
but he was a memory that i shouldn't remember. a memory that i left behind.
and it has been some years since i have something people called love or even a slightest feeling. sometimes i miss the sensation so much it drives me crazy.
what they said is true, you will always crave for the taste of love, the effect given by those hormones. sensation you get by:
a cuddle, a touch, a kiss.

maybe what i miss so much is not 'someone' that i have around.
but the feeling to long for someone, the needed, the craziness, the hormones.
i need them.

even after i know all the biologycal and chemical shits behind it, i still crave it.
and deep inside i know,
despite all words i have ever say about love,
i still, fcking need it.
to survive from this world banal bussiness and keep alive.

to alive.

Sudahkah aku bercerita betapa aku tidak menyukai Agustus?
Mungkin belum.
Agustus bulan sarat  karat.
Melapisi dengan erat.
Agustus berjalan dengab lambat. Detiknya tidak berirama tik...tik... Tapi t...i...k...t...i...k... Begitu kolot!
Seolah masih berada di zaman kolonial.
Aku tak suka Agustus, yang membiarkan kedua orang itu mengulang umurnya. Menyambung kebahagiaan bersama, memulainya.
Dan aku, si pembenci yang di sudut ruangan. Menyusun puzzle 1000 keping kenangan.
Si Agustus berjalan begitu lambat, seolah mengejekku dengan semangat djoang 45.
Sudahlah.
Biarkan Agustus bergulat dengan waktu, toh akhirnya dia akan berlalu. Betapa pun lambatnya itu.