Entah ini senja
keberapa yang aku habiskan di pantai ini. Menunggu datangnya semburat merah di
kaki langit, mengantarkan sang mentari ke peraduannya.
Mungkin orang-orang
sekitar sini sudah hapal denganku. Setiap sore, tepat pukul 5, aku sudah ada di
sini. Takutnya, terlambat sedikit saja senjaku akan terlewat. Manisnya rona
senja dan hamparan membiru yang bagai tanpa ujung.. Ya, aku telah terpikat
olehnya..
Aku selalu duduk dengan
setia di atas pasir, tanpa alas apapun. Aku memang tidak butuh. Lembut pasir pantai di kala sore selalu bisa
membuatku lebih tenang. Hari ini pun. Tenang rasanya kembali ke sini. Pasir
yang hangat, bau khas laut, dan warna senja.
Dulu orang-orang di
sekitar pantai sering menanyaiku. Mengapa aku selalu menunggui senja di pantai
ini tiap sorenya, dimana aku tinggal, siapa namaku, dan banyak lagi. “Saya cuma
senang melihat senja di pantai.” Selalu begitu aku menjawab, enggan menungkap
terlalu jauh. Sedikitpun aku tidak berbohong. Aku memang senang pada senja. Juga
pantai. Keduanya pasangan sejati.
Ibuku yang mengenalkanku pada senja. Seminggu
sebelum beliau berpulang. Tidak ada penyakit khusus. Waktu beliau memang sudah
habis.
Ah, Aku masih ingat
sekali. Di pantai --bukan pantai yang ini-- dalam senja beliau beristirahat. Tapi,
bukan karena beliau aku suka pada senja. Beliau hanya mengenalkanku pada senja.
Aku jatuh cinta pada senja, itu cerita lain. Dan tentang si Pantai, itu sungguh
berbeda. Mungkin nanti akan aku ceritakan. Kalau aku berkenan. Sekarang sudah cukup. Aku lebih senang menikmati senja
dalam diam. Lalu mengulum senyumku dalam-dalam.
Aku selalu menyimpan
sepotong senja dalam lembar-lembar fotoku. Kiranya nanti cuaca menghalangi,
potongan itulah yang menggantinya sementara.Setiap senja berbeda. Kemarin lusa
lebih merah dari kemarin. Hari ini ada campuran biru di antara rona merahnya.
Cantik sekali.
Sedikit-demi sedikit
aku menyesap senjaku. Desir demi desir angin, semburat demi semburat. Begitu
berharga. Setelah senjaku pergi, kadang aku berbaring sejenak di atas putihnya
pasir pantai. Lega. Bersyukur, satu lagi senja yang berhasil aku nikmati. Lalu
aku mulai menggambar dalam khayal, meresapi senjaku tadi. Warnaya, kilauannya
di atas air laut. Aromanya. Kadang aku iri pada senja. Bisa merona dengan
begitu gagah, tanpa malu.
Senja itu selalu
bermakna. Ia menghubungkan siang dan malam. Matahari dan bulan.
Senja itu.. “Kak, kak!
Ini, ada titipan!” ah, seorang anak kecil membuyarkan lamunanku. Anak laki-laki
ini, tubuhnya kecil, kulitnya gosong, rambutnya pendek acak-acakan. Mungkin
usianya 12 tahun atau lebih.
Setelah menjatuhkan
sebuah bungkusan ke pangkuanku, dia lari terbirit-birit. Langsung hilang. Aku
bahkan belum sempat membuka mulut, terlalu terkejut. Bungkusan itu berbentuk
segi empat dengan kertas pembungkus merah tua. Talinya biru. Cantik juga. Dari
bentuk luarnya dan kerasnya.. Ini kanvas? Secepatnya aku menyobek bungkusannya.
Hati-hati. Ternyata memang lukisan.
Siluet seorang gadis dengan rambut hitam panjang
terurai, topi jerami lebar, gaun santai, duduk di atas pasir. Latar belakangnya
tentu saja, pantai dan senja. Lukisan ini seolah memotretku dari belakang. Dan,
ada suratnya!
Hai, gadis senja.
Akhirnya aku berani menyapamu
Setelah sekian lama menunggu.
Lukisan ini hadiah untukmu.
Hari ke-99 kau setia pada senjamu di
pantai ini.
Dan sebagai tanda perkenalan kita.
Salam kenal gadis senja.
Dsri pengagum kesetiaanmu.
Ah, ternyata aku sudah
melihat 99 senja di pantai ini. Dan ternyata, aku punya pengagum rahasia.
Tunggu, bukan rahasia lagi. Dia kan sudah bilang. Kira-kira siapa? Aku
penasaran. Kuedarkan pandangan, pantai ini sudah sepi. Tidak ada pengunjung
lain selain aku. Misterius sekali.
Ps:
Penasaran padaku? Anggap ini satu teka-teki, untuk diungkap di senja ke
seratus. Sabarlah gadis senja.
Lucu juga. Aku tertawa
kemudian beranjak, kupeluk lukisan cantik itu.
note: Ini adalah sebuah cerpen lama yang entah kenapa terhapus dari blog ini. Padahal rasanya cerpen ini adalah post pertamaku.